86berita/Jakarta-Hambar rasanya, manakala cinta terombang-ambing oleh
jiwa yang kosong. Cinta sesungguhnya adalah ketika cinta menyatu dengan jiwa suci yang tak pernah menodai cinta yang suci.
Hiruk pikuk keramaian dunia malam selalu menyelimutiku setiap hari. Aku berjalan dengan langkah tergesa-gesa
untuk segera sampai di tempat aku biasa menjajakan diriku
dengan sukarela dan tanpa paksaan. Pekerjaan yang cukup
lama menjadi kesibukanku sejak tujuh tahun silam.
Entah berapa ratus orang yang telah menikmatiku dan meninggalkanku begitu saja. Namun, yang aku tahu, aku selalu memberikan pelayanan yang eksklusif, intensif, dan plus-plus kepada semua pelanggan setiaku. Aku hanya melakukan hal terbaik
yang aku bias untuk memuaskan dan bermanfaat bagi orang
lain.
“Neng, pulang sama abang yuk?” Sapa Pak Lurah yang selalu menjadi pelanggan setia di warung sebelah.
“Terimakasih, Pak, tapi Nina ada urusan lain. Permisi, Pak.”
Jawabku dengan sunggingan senyum yang sangat ramah dan
bergegas meninggalkan kerumunan para penjaja nafsu cinta.
Aku segera pulang menyusuri lorong-lorong kecil yang
penuh dengan tumpukan sampah dan rumah-rumah kardus tak beraturan. Aku berjalan dengan anggunnya menuju
sebuah rumah mungil di sudut pojok lorong bisu.
Kutemui anak-anak kecil tanpa dosa yang sedang mengais sampah
demi meneruskan hidupnya.
Di sudut lain aku melihat pemuda-pemuda yang sedang asyik bermesraan dengan botol-botol hijau yang menenangkan jiwa. Sesampainya di rumah
berukuran 3x3, terdengar tangisan adik-adik kecilku yang
sedang merengek meminta ini itu. Dalam hitungan tiga detik setelah aku membuka pintu, adik-adikku bergegas mendekatiku dan menarik-narik rokku yang mini dengan fashion.
“Kak, lapar..”.
“Kak, bajuku sobek..”.
“Kak, aku besok bayar SPP..”.
“Kak..Kak..Kak..”. Semua keluh kesah adik-adikku merajai
nadi dan meracuni setiap aliran darah kotorku.
Batinku menangis meringis kesakitan di terpa riuhan
kata-kata suci yang keluar dari bibir-bibir mungil adik-adik
kecilku.
Aku hanya bias berpura-pura membagi senyuman
terindahku di balik pahit getir pilu perjalanan kehidupanku
yang tidak mereka tahu.
Aku mengusap air mata penuh tanya
adik-adikku dan seolah-olah menyampaikan pesan kalbuku
meyakinkan mereka bahwa aku bisa mencukupi kebutuhan
mereka dengan jalan yang aku tempuh ini.
Aku menghabiskan waktu fajar hingga siang hari untuk
berkeliling menjajakan makanan-makanan kecil yang aku
buat sendiri sekaligus menjajakan semua jasa yang aku bisa.
Setelah masuk zona waktu sore hari, aku mengisi waktu dibawah kolong jembatan untuk berkumpul bersama anak-anak sampah dan anak-anak kricikan tutup botol yang tak
berdosa demi memaknai kehidupan perih mereka yang tersayat luka atas nama takdir.
(red)